Tugas 6
(Mencari Artikel Dengan Tema Perubahan)
PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT DI SEKITAR DAERAH PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KALIMANTAN BARAT
(Staf Pengajar Fisip dan Program Magister Ilmu Sosiall Universitas Tanjungpura Pontianak)
ABSTRAK
Kehadiran perkebunan kelapa sawit berpengaruh terhadap perubahan pola pekerjaan, yang diikuti dengan peningkatan penghasilan masyarakat. Konsekwensi lain adalah berpengaruh terhadap pola hidup dan hubungan sosial yang ditandai dengan pergeseran berbagai irama kehidupan, perubahan pola interaksi sosial yang sederhana dan bercorak lokal berubah ke pola interaksi yang kompleks serta menembus batas pedesaan, bertambahnya penduduk sehingga berbagai pola kehidupan saling mempengaruhi.
Kata kunci: perubahan, masyarakat, perkebunan
Pendahuluan
Di Kalimantan Barat pengembangan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit mulai dibuka pada 1980, dengan pola PIR sejak tahun 1982. Daerah pengembangannya terdapat di Kabupaten Pontianak, Sanggau, Sintang dan Sambas. Fenomena yang muncul seiring dengan dibukanya perkebunan kelapa sawit dengan pola PIR-Bun tersebut adalah terjadinya perubahan lingkungan alam, yaitu semakin mempersempit kawasan hutan. Hal ini berarti juga mempersempit areal cadangan lahan perladangan, yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya perubahan luas sumber daya alam yang masyarakat miliki, dan memaksa masyarakat harus menyesuaikan atau mengembangkan teknologi baru untuk eksploitasi sumber daya dan akan mempengaruhi aspek sosial budayanya.
Kehadiran kantong-kantong HPH dan perkebunan, selain dapat menggeser infrastruktur ekonomi masyarakat, lingkungan sosial dan kebudayaan juga telah memicu meningkatnya jumlah penduduk, baik yang datang dibawa oleh pihak proyek perkebunan maupun para migran yang datang dengan maksud memperoleh lapangan kerja, sehingga masyarakat yang hidup di sekitar wilayah perkebunan menjadi cukup beragam atau majemuk secara sosial budaya. Hal ini berarti, masyarakat yang berada di sekitar perkebunan kelapa sawit yang pada mulanya merupakan masyarakat homogen (suku Dayak) berubah menjadi masyarakat majemuk.
Dengan meningkatnya intensitas interaksi, interelasi dan komunikasi antara masyarakat setempat dengan pihak perkebunan dan dengan masyarakat pendatang lainnya cepat atau lambat akan mempengaruhi pula pola pikir, cara hidup dan pola hubungan social serta tingkah laku masyarakat setempat, yang pada gilirannya akan berakibat pada perubahan system nilai dalam masyarakat, yang selanjutnya akan berakibat pada seluruh sistem perekonomian masyarakat terutama dalam ketenagakerjaan, pola konsumsi, system menyimpan kekayaan dan proses sosialisasi dalam masyarakat. Dalam konteks inilah, penelitian tentang perubahan sosial masyarakat di sekitar daerah perkebunan kelapa sawit dilakukan.
Tinjauan Pustaka
Alqadrie (1994) menyatakan bahwa dengan adanya pembangunan subsektor perkebunan bagi masyarakat pedalaman tidak hanya menyebabkan terbatasnya ruang gerak tetapi juga tanah-tanah adat yang dimiliki penduduk diambil alih atau dikuasai oleh pihak perusahaan. Sebagai konsekuensi logis menurut Hood (dalam Garna, 1995) bahwa kehidupan masyarakat yang demikian akan mengalami: (1) kehilangan tanah warisan nenek moyang; (2) status atau kedudukan sosial ekonomi yang rendah; (3) perubahan lingkungan hidup menjadi lingkungan yang banyak dimusnahkan atau diganti baru.
Kondisi masyarakat sebagaimana yang digambarkan oleh Hood tersebut memang sudah terjadi khususnya pada daerah-daerah yang letaknya berada di sekitar lokasi HPH dan perkebunan besar. Berdasarkan data Bappeda dan Biro Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Barat (1988), bahwa sejak pertama kali beroperasinya perusahaan HPH tahun 1967 kawasan hutan di daerah ini seluas 9.204.425 hektar. Sedangkan pada tahun 1986/1987, dalam waktu 20 tahun telah berkurang sebanyak 30,1 %. Keadaan ini menurut Alqadrie (1992) telah mengancam eksistensi petani ladang berpindah ataupun penduduk daerah pedalaman yang memandang bahwa hutan adalah sebagai basis utama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pembangunan perkenunan kelapa sawit sebagai bagian dari proses modernisasi dan proses ini tidak hanya menyangkut pola perubahan ekonomi dan teknologi semata, namun berdampak pada perubahan kehidupan masyarakat. Salah satu akibat penting dari kehadiran proyek perkebunan adalah terbentuknya komunitas baru, perubahan dan pertumbuhan cepat dari komunitas baru. Kehadiran perkebunan juga menciptakan suatu kendala struktural terhadap karakteristik pada masyarakat maju sehingga akan memiliki pekerjaan yang sama, diferensiasi pendapatan, dan meningkatkan mobilitas sosial dalam memenuhi berbagai masalah kebutuhan hidup.
Perubahan sosial disatu pihak dapat mengandung arti proses perubahan dan pembaharuan struktur sosial, sedangkan dipihak lain mengandung makna perubahan dan pembaharuan nilai (Alfian,1986). Perubahan sosial yang bagaimana yang terjadi sebagai akibat adanya proses pembangunan proyek perkebunan. Karena pembangunan perkebunan dengan menggunakan teknologi modern berarti adanya penggantian teknik bertani dari cara yang tradisional ke cara modern, akibatnya terjadi proses perubahan masyarakat dalam segala segi kehidupan.
Demikian juga halnya dengan pembangunan proyek perkebunan yang berskala besar yang dikelola secara modern bagi masyarakat terutama yang berada di sekitarnya telah menyebabkan pergeseran alih fungsi lahan yang berakibat perubahan pola hubungan kerja, pola lapangan kerja dan peluang kerja yang pada gilirannya akan berimplikasi pada perubahan status sosial, hubungan sosial, dan pola kehidupan masyarakat. Di samping itu juga akan menimbulkan masalah penduduk dan lingkungan akibat semakin meningkatnya jumlah pendatang. Bahkan Garna (1992) menyatakan bahwa perubahan yang terjadi dalam masyarakat sebagai akibat kehadiran proyek perkebunan, tidak hanya berupa perubahan fisik oleh proses alami dan perubahan kehidupan manusia oleh dinamika kehidupan, tetapi juga menyangkut kehidupan manusia atau terkait dengan lingkungan kehidupannya yang berupa fisik, alam dan sosial.
Pandangan optimistik tentang perubahan sosial sebagai mana yang dikemukakan di atas mungkin beralasan mengingat kebijaksanaan yang melandasi kehadiran perusahaan HPH maupun perkebunanan telah digodok dan dirumuskan oleh lembaga legislatif (Algadrie, 1994). Dengan demikian kehadiran proyek perkebunan akan menyebabkan perubahan sosial pada masyarakat tidak dapat dihindarkan sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Mudiyono et al., (1990), berpendapat bahwa pengembangan perkebunan dengan pola PIR termasuk dalam upaya untuk lebih mempercepat perubahan cara bertani dan cara hidup masyarakat terutama masyarakat di sekitar lokasi perkebunan.
Metode Penelitian
Secara kronologis, penelitian ini dilakukan dengan metode survei, wawancara dan studi dokumentasi. Untuk memperoleh data yang tidak dapat dilakukan melalui observasi, peneliti lakukan dengan metode wawancara. Studi dokumentasi digunakan untuk menggali data sekunder. Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat yang berada di sekitar daerah perkebunan kelapa sawit akan dideskripsikan serta dianalisis secara kualitatif.
Hasil dan Pembahasan
Persepsi Terhadap Kehadiran proyek Perkebunan Kelapa Sawit
Persepsi terhadap kehadiran proyek perkebunan kelapa sawit umumnya popsitif, walaupun ada diantaranya yang memiliki persepsi negatif. Hal ini tidak berarti, pembangunan proyek perkebunan kelapa sawit adalah bentuk ideal bagi masyarakat. Persepsi negatif terhadap pembangunan perkebunan kelapa sawit, selain dipengaruhi oleh kesan terhadap program transmigrasi yang kurang berhasil, juga nasib para transmigran lokal yang ikut serta dalam program transmigrasi tidak mendapat perlakuan yang sama seperti transmigran dari luar daerah. Karena itu, mereka hawatir akan mengalami nasib yang serupa. Berangkat dari realitas sosial yang mereka alami tersebut, ada sebagian masyarakat yang tidak mau menyerahkan tanahnya untuk dijadikan sebagai lahan perkebunan kelapa sawit itu, sehingga ketika pertama proyek ini mulai digarap pada tahun 1982 ditemukan beberapa daerah enklave (adanya lahan perladangan atau jamih dan kebun karet rakyat) ditengah-tengah lingkungan perkebun kelapa sawit.
Persepsi lain adalah akan mendapat ganti rugi atas tanah dan tanam tumbuh yang ada di atasnya. Namun dalam kenyataannya persepsi masyarakat ini berbeda dengan persepsi pihak pemerintah yang memandang bahwa hutan adalah milik negara diperuntukan untuk kemakmuran rakyat, karena itu terhadap tanah-tanah masyarakat yang terkena areal perkebunan kelapa sawit tersebut pihak pemerintah tidak memberi ganti rugi kepada masyarakat setempat. Harapan lain adalah dapat diterima sebagai karyawan tetap proyek perkebunan, dengan alasan untuk mendapatkan uang tunai secara tetap setiap bulan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dalam keluarganya. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Dove (1986 dalam Sapardi, 1991) bahwa msyrkat pedalaman (baca: orang Dayak) berusaha meminimkan resiko, yaitu menginginkan jaminan atas tersedianya pekerjaan tetap untuk mendapatkan sumber uang tunai secara teratur dan tetap. Namun dalam kenyataan mereka hanya dapat menjadi tenaga buruh perkebunan atau pekerja kasar, sementara itu tenaga karyawan banyak diisi oleh penduduk yang berasal dari daerah lain. Karena untuk menjadi karyawan dituntut persyaratan administratif yang ketat dan kaku.
Perubahan Lapangan Kerja dan Diversifikasi Pekerjaan
Lapangan pekerjaan setelah kehadiran proyek Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan kelapa sawit, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: pertama yang sementara dan; kedua yang tetap. Pekerjaan yang sementara yaitu membangun sarana perumahan di lingkungan proyek perkebunan kelapa sawit. Pekerjaan ini berlangsung tidak begitu lama sebab dalam beberapa bulan kemudian bangunan yang digunakan untuk perumahan karyawan proyek perkebunan kelapa sawit jadi dan bisa ditempati, para tukang itu keluar. Jenis pekerjaan yang tetap antara lain, adalah tenaga buruh perkebunan, karyawan pabrik, staf karyawan proyek perkebunan, usaha angkutan buah kelapa sawit, dan angkutan pupuk serta obat hama penyakit tanaman. Lapangan pekerjaan baru dari luar antara lain bengkel kendaraan bermotor, kios bensin, warung atau toko, kiostel, warung kopi, rumah makan, dan pembangunan sarana jalan. Tenaga kerja sebagian besar adalah masyarakat setempat, bahkan diantara mereka ada yang menjadi pedagang besar.
Perubahan Sistem Hubungan Kerja
Kehadiran proyek perkebunan kelapa sawit, beberapa aspek kehidupan seperti sistem gotong royong masih berlaku, tetapi perkembangan dan perbedaan fungsi dalam masyarakat dewasa ini cenderung mengubah bentuk gotong royong itu. Kenyataan ini sesuai dengan teori solidaritas organik dan mekanik Durkheim (dalam Veeger, 1992) menyatakan bahwa pada bentuk solidaritas organik, terintegrasi karena adanya keseragaman pola-pola relasi sosial, yang dilatar belakangi oleh kesamaan pekerjaan dan kedudukan semua anggotanya, sedangkan solidaritas mekanik, dimana masyarakat mulai berubah, setelah pertambahan penduduk memaksa masyarakat untuk merundingkan suatu pembagian kerja. Pembagian ini mengakibatkan perbedaan kepentingan, status dan pikiran yang menjurus kepada pola interaksi yang parsial dan fungsional, untuk mencapai kesatuan dibutuhkan undang-undang, peraturan-peraturan, kontrak atau perjanjian, dan suatu ideologi atau seperangkat nilai-nilai yang bersifat lebih umum dan abstrak.
Perubahan sistem hubungan kerja tersebut, sejalan dengan semakin intensifnya peredaran uang di lingkungan mereka, karena proyek perkebunan menganut managemen modern yang dalam imbalan tenaga selalu dibayar dalam bentuk uang kontan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sayogyo (1985), bahwa kehadiran proyek ekonomi dari luar yang dikerjakan secara modern telah menghacurkan pranata desa tradisional berazaskan tolong menolong yang diganti dengan sistem upah yang dibayar dengan uang.
Dengan demikian sistem upah modern pada umumnya berorientasi pada keuntungan yang sebesar-besarnya, karena itu dasar kerja yang dugunakan adalah pembagian kerja yang jelas dan menuntut dilakukan secara profesionalisme. Sistem upah yang rasional yang dipraktekkan secara modern oleh pihak perkebunan kelapa sawit, sudah berpengaruh terhadap sistem upah tradisional. Pada saat ini, akibat masuknya proyek perkebunan kelapa sawit, prinsip kebersamaan secara tradisional yang sejak dulu menjadi sistem nilai hidup bermasyarakat untuk menjamin kelangsungan kehidupan bergeser menjadi sistem nilai yang berbentuk konkrit dalam bentuk imbal jasa berupa upah, terutama aktivitas dalam memelihara perkebunan.
Peralihan dari sistem upah tradisional ke arah sistem upah modern telah mumunculkan struktur sosial baru di dalam masyarakat pedalaman yakni adanya golongan pencari upah atau pekerja diperkebunan yang hidup berdampingan dengan para pendatang.
Perubahan Pola Hubungan Sosial Masyarakat
Kehadiran proyek perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan kerja sama tidak hanya terbatas dalam lingkungan komunitas mereka sendiri, tetapi sudah melibatkan orang luar terutama dengan pihak perkebunan. Dalam hal persaingan yang sangat kentara adalah persaingan dalam memperoleh kesempatan untuk dapat bekerja pada proyek perkebunan kelapa sawit. Demikian juga dalam memugar dan memperbaiki rumah yang diganti dengan bangunan yang lebih kuat, besar dan permanen serta adanya persaingan dalam membeli barang-barang konsumtif seperti televisi, VCD, radio tape recorder, sepeda, dan sepeda motor. Barang konsumtif seperti ini dengan mudah mereka miliki, karena dapat diperoleh dengan kredit yang pembayarannya dipotong dari hasil penjualan buah kelapa sawit.
Dengan demikian kehadiran proyek perkebunan kelapa sawit, telah menyebabkan munculnya kompleksitas persaingan tidak hanya persaingan ekonomi tetapi juga persaingan sosial dan politik. Suparlan (1998) mengemukakan bahwa persaingan di dalam kehidupan bermasyarakat itu selalu ada dan tidak dapat diingkari lagi kehadirannya. Ini berarti setelah kehadiran proyek perkebunan kelapa sawit persaingan yang terjadi tidak hanya terbatas pada perebutan sumber daya alam, tetapi juga persaingan dalam pendidikan dan politik.
Dalam pada itu, konflik yang terjadi setelah masuknya proyek perkebunan kelapa sawit, tidak hanya tentang tanah semata-mata, tetapi juga sudah menyangkut pergaulan anak-anak muda, antara tetangga dan, warga yang kurang sehat. Menurut Rauf (2001) karena masyarakat terdiri dari sejumlah besar hubungan sosial, selalu saja terjadi konflik antara warga masyarakat yang terlibat dalam hubungan sosial. Dalam kaitan itu, konflik atau pertikaian yang terjadi di lokasi penelitian secara perorangan antara tetangga pada umumnya disebabkan oleh masalah-masalah yang berkisar pada kehidupan ketetanggaan. Seperti adanya kecemburuan sosial terhadap tetangga yang hidupnya lebih maju, adanya tetangga yang tidak menepati janji. Konflik terbuka antara sesama warga dalam skala besar setelah masuknya perkebunan kelapa sawit memang belum pernah terjadi, tetapi konflik individual dalam skala kecil memang sering terjadi. Konflik seperti itu tidak berkembang luas karena dapat diatasi oleh orang Dayak secara musyawarah. Perselisihan cukup sering terjadi umumnya antar remaja pada saat kompetisi olahraga atau dalam pergaulan sehari-hari, tetapi tidak sampai meluas menjadi konflik antar suku bangsa, agama atau antar golongan.
Perubahan Pola Kehidupan
Perubahan pola kehidupan terfokus pada pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari tidak mengalami perubahan yang menyolok. Kebiasaan menyuguhkan tamu dengan minuman tuak sudah diganti dengan minuman teh atau kopi, demikian juga dengan jenis rokok yang terbuat dari nipah yang diisi dengan tembakau sulit ditemukan, rokok yang dikonsumsi adalah buatan pabrik. Dengan demikian kehadiran proyek perkebunan kelapa sawit telah menyebabkan perubahan dalam pola konsumsi masyarakat. Kenyataan ini memperkuat teori yang perubahan sosial yang dikemukakan oleh Ogbur (dalam Lauer, 1993) yang menyatakan bahwa perubahan disatu pihak akan mengakibatkan perubahan dipihak lain.
Demikian juga dalam hal berpakaian. Fungsi pakaian tidak lagi dipandang hanya sebagai penutup badan, tetapi sudah dianggap sebagai sesuatu yang dapat memperindah badan, hal itu terlihat dari jenis dan model pakaian yang dipakai mereka, terutama di kalangan anak-anak muda sudah tidak ada bedanya lagi dengan jenis dan model pakaian yang biasa dipakai oleh para pendatang dari luar. Di kalangan anak muda baik pria maupun wanita sudah biasa mengenakan celana jeans, dengan penampilan yang rapi. Zulkarnaen (2000) berdasarkan hasil penelitiannya menemukan hal yang sama, yaitu dikalangan orang pedalaman, mereka juga akrab menggunakan celana jeans. Tampilan rambut dipotong dan disisir trendy.
Kehidupan bidang agama hampir tidak mengalami perubahan yang berarti. Jauh sebelum dibangunnya mereka sudah menganut agama Katolik dan Protestan. Agama itu diperkenalkan oleh para misionaris kristen Katolik dan Protestan. Para misionaris Kristen mulai menyebarkan agama di daerah pedalaman Kalimantan sejak awal abad ke 20 (Day, 1995). Adat istiadat dan hukum adat masyarakat setempat masih tetap berlaku sebagai kontrol sosial, yang pelaksanaannya disesuaikan dengan ajaran agama dan perkembangan masyarakatnya. Menurut Garna (1999) masih kuatnya adat istiadat dan hukum adat, karena dianggap sebagai pedoman hidup bagi masyarakat.
Perubahan dalam peranan keluarga. Bentuk keluarga batih relatif tetap terdiri ayah, ibu dan anak-anaknya. Fungsi keluarga adalah satuan pengasuhan anak, tampaknya masih belum mengalami perubahan yang esensial. Ibu tetap merupakan orang yang paling penting kedudukannya dalam proses enkulturasi dan sosialisasi anak-anak demikian pula ayah dan beberapa anggota keluarga dekat lainnya. Perubahan justru terjadi sebagai suatu bentuk fenomena sosial yang berubah ialah ruang gerak anak-anak perempuan makin luas yang diakibatkan oleh orientasi nilai budaya, sehingga tampak lebih leluasa dan fleksibel. Anak perempuan boleh berjalan berduaan dengan laki-laki tanpa merasa bersalah dan takut dimarahi orang tua.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
1. Kehadiran proyek perkebunan kelapa sawit telah memberikan kontribusi yang positif terhadap peningkatan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya, yang pada gilirannya telah mendorong perubahan sosial dalam. aspek status sosial ditandai dengan pergeseran pekerjaan. Perubahan sosial dalam aspek hubungan sosial ditandai dengan perubahan perubahan pola hubungan yang sederhana serta bercorak lokal berubah kepada pola hubungan yang kompleks dan lebih luas dari batas desa.
2. Perubahan sosial dalam aspek pola hidup juga mengalami perubahan yang ditandai dengan pergeseran orientasi kepemilikan harta untuk memperoleh penghargaan dan pengakuan masyarakat yang berkenaan dengan status sosial.
3. Makna kegiatan tolong menolong dan pertukaran sosial telah mengalami pergeseran, hal ini tampak dari pola hubungan yang bersifat kontraktual dan rasional telah mereduksi yang sifatnya pribadi.
Saran-Saran
1. Untuk mengantisipasi pola hidup yang konsumtif akibat peningkatan kehidupan sosial ekonomi yang dapat merusak tatanan nilai masyarakat yang sudah dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, maka perlu ditanamkan sejak dini nilai-nilai kebersamaan terutama kepada generasi muda melalui lembaga keluarga dan agama.
2 Sosialisasi kepada masyarakat terhadap kehadiran proyek ekonomi dari luar seperti HPH maupun perkebunan pada masyarakat pedalaman adalah patut dipertimbangkan, untuk mencegah terjadinya konflik sosial antara penduduk setempat dengan penduduk yang datang sehingga dengan demikian kehadiran mereka dapat dipahami sebagai upaya membangun daerah.
0 komentar:
Posting Komentar